Kisah Sapri Sale, guru bahasa Ibrani di Jakarta: "Bahasa tidak ada hubungannya dengan kebijakan politik"

Kisah Sapri Sale, guru bahasa Ibrani di Jakarta: "Bahasa tidak ada hubungannya dengan kebijakan politik"
Sapri Sale mengajarkan alfabet Ibrani. Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Sapri Sale mengajarkan alfabet Ibrani.

Sapri Sale, seorang pengajar bahasa Ibrani di Jakarta dan penyusun kamus Indonesia Ibrani, menjelaskan apa yang ingin dicapainya dengan membuka kursus bahasa Ibrani untuk umum.

Empat kali seminggu, di sebuah ruangan di kantor lembaga Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Jakarta Pusat, Sapri Sale mengajarkan bahasa Ibrani bagi masyarakat umum yang tertarik untuk mempelajarinya.

Setiap Senin dan Rabu, masing-masing hari di dua sesi yang berbeda, Sapri mengenalkan bahasa resmi Israel itu.

"Kehadiran bahasa Ibrani di Indonesia itu urgent, sangat penting, meskipun kita sudah terlambat, tapi...tidak ada kata terlambat. Saatnya kita memulai mempelajari bahasa tersebut," kata Sapri kepada BBC Indonesia, Rabu (14/03) di Jakarta.

Tapi apa yang penting dari mempelajari suatu bahasa milik negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia? Dan yang terpenting lagi, ada antagonisasi yang luas akan Israel sebagai negara serta identitas budayanya di Indonesia.

‘Harta karun’ tersembunyi di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Kisah ribuan koin emas kuno harta karun bawah laut Israel, peninggalan kekhalifahan Islam

"Mempelajari bahasa itu tidak ada korelasinya dengan kebijakan atau politik. Bahasa adalah bahasa, dia tidak bisa menjadi korban kebijaksanaan suatu kelompok sehingga berakibat kepada bahasa mereka.

"Apakah bisa kita katakan, saya sebagai orang Sulawesi yang selalu melakukan suatu tindakan kriminal yang memalukan etnis saya, kemudian mengakibatkan orang tidak bisa belajar bahasa etnis saya?

"Menurut saya, bahasa diposisikan sebagai bahasa, kebijakan pemerintah adalah kebijakan pemerintah," katanya.

Sapri melihat bahwa tugasnya sebagai pengajar bahasa Ibrani bukanlah untuk "menjelaskan kesalahpahaman orang" terhadap Israel.

"Tugas saya adalah memberikan tools (alat) atau aplikasi bagi masyarakat Indonesia dan menyerahkan sepenuhnya pada mereka untuk meng-explore tools ini, mau dibawa ke arah mana, ke kanan, ke kiri, terserah yang menggunakannya," ujar Sapri.

Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Kelas bahasa Ibrani.

Jika Sapri memposisikan bahasa sebagai kunci, lalu apa yang bisa diperoleh saat menggunakan kunci itu dengan belajar bahasa Ibrani?

Menurut Sapri, bahasa ini utamanya akan berguna bagi mereka yang ingin belajar tentang teologi Judaisme maupun Kristen. "Tanpa membaca teks-teks suci yang ada dalam Alkitab yang berbahasa Ibrani, itu kita akan rancu memahami Judaisme dan Kristiani," katanya.

Dari segi kultural dan sosial, Sapri mengharapkan para pengamat atau pakar Timur Tengah yang ada di Indonesia, tertarik mempelajari bahasa ini.

"Kalau mereka mampu membaca sumber informasi dari dua sisi, bahasa Arab dan Ibrani, saya lebih yakin bahwa hasil analisis mereka itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih objektif daripada membaca satu sumber. Tanpa membaca, dari teks-teks asli kultural, kita tidak akan sampai ke titik pemahaman yang sempurna," jelasnya.

"Di sini kan bahasa Arab sudah menjadi biasa, jadi bahasa Ibrani ini penting untuk menjadi pembanding buat teks atau literatur bahasa Arab," lanjutnya.

Sementara bagi orang awam, Sapri mengatakan ada keuntungan atau keunggulan teknologi yang bisa didapat seseorang.

Dia mencontohkan bahwa bagi warga Israel sendiri, bahasa Indonesia sudah lebih dulu dipelajari di universitas, dan "banyak sekali orang Israel saat ini sudah mampu belajar bahasa Indonesia dan mengambil manfaat dari pengetahuan mereka akan bahasa Indonesia".

Salah satunya adalah manfaat ekonomi yang mereka peroleh dengan menjadi pembimbing tur bagi para penziarah asal Indonesia yang datang ke Israel. Dan Sapri berharap ada manfaat serupa yang bisa diperoleh oleh orang Indonesia yang belajar bahasa Ibrani.

Apa yang mendasari pengakuan Trump atas Yerusalem? Tujuh hal yang harus Anda ketahui Gereja Makam Kudus di Yerusalem kembali dibuka setelah protes Israel

Murid-muridnya datang dari berbagai latar belakang pekerjaan dan pendidikan, baik dari mereka yang beragama Islam maupun Kristen.

Dan bagi orang-orang yang terbiasa dengan membaca Alquran, belajar bahasa Ibrani, menurut Sapri, justru menjadi lebih mudah, karena aksara yang ditulis dari kanan ke kiri dan beberapa aksara yang terdengar serupa.

Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Teks Ibrani yang dipelajari di kelas.

Nurhabibie Rifai, seorang manajer program dan peserta di kursus ini, mengatakan bahwa bahasa Ibrani adalah "sesuatu yang baru, dan belajar sesuatu yang baru itu adalah hal yang menyenangkan".

"Saya tidak bisa mengatakan bahwa Israel 'tidak jahat' atau hal-hal semacam itu. Kita lihat pendudukan di Jalur Gaza, bagaimana mereka memperlakukan warga Palestina, itu adalah hal yang buat saya tidak pantas. Tapi bagaimanapun juga Israel punya teknologi yang lebih baik, itu hal yang harus diterima, dan juga harus dipelajari," papar Nurhabibie.

"Teman saya pernah ke Israel untuk belajar tentang tata kelola bencana, kan mereka negara dengan ancaman bom, peluru, jadi mereka mengembangkan itu. Artinya, seharusnya kita mempelajari itu," imbuh Nurhabibie.

Hal senada diungkapkan oleh Munawir, seorang editor buku dan peneliti di bidang anti-semitisme, yang mengatakan bahwa dia ingin belajar bahasa Ibrani untuk "bisa berkorespondensi dengan beberapa teman di sana".

"Bahasa buat saya sebagai jalan, kalau kita tidak paham bahasanya, saya tidak akan bisa menangkap ilmu pengetahuan dari negara itu," kata Munawir.

Perancang Libanon yang pajang foto artis Israel, Gal Gadot, jadi kontroversi Yerusalem ibu kota Israel di buku SD, lemahnya pengawasan penulis

"Saya merasa harus bekerja keras untuk menghapal alfabetiknya ya. Tapi karena kultur bahasa Arab dan Ibrani itu hampir sama, jadi saya terbantu sekali karena tradisi pesantren mengharuskan saya untuk belajar bahasa Arab secara detail dan sebenarnya bahasanya itu masih saudara kandung, karena kosakatanya dan beberapa kata hampir sama maknanya dengan bahasa Arab," ujar Munawir.

Sementara bagi Djuita, motivasinya belajar bahasa Ibrani lebih atas alasan spiritual.

"Saya ingin bisa membaca Injil dalam bahasa aslinya," kata Djuita.

Meski sudah bisa mulai membaca aksaranya, Djuita mengakui bahwa perjalanannya masih sangat panjang untuk bisa mencapai tujuan utamanya.

"Bayangkan, dari sesuatu yang benar-benar asing, saya sudah bisa mulai membaca, meski terbata-bata, itu senang banget," katanya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.