Duet Jokowi-Prabowo di pemilihan presiden 2019, mungkinkah diwujudkan?

Duet Jokowi-Prabowo di pemilihan presiden 2019, mungkinkah diwujudkan?
Jokowi dan Prabowo Hak atas foto Getty Images Image caption Jokowi dan Prabowo bersaing di pilpres 2014 yang akhirnya dimenangkan oleh Jokowi.

Survei Saiful Mujani Research & Cunsulting (SMRC) memperlihatkan 67% responden setuju pasangan Joko Widodo-Prabowo Subianto dimajukan di pemilihan presiden 2019.

"Di masyarakat ada semacam keinginan untuk menggabungkan Jokowi-Prabowo dalam satu paket. Pertanyaannya: apakah setuju Jokowi-Prabowo bersatu dalam satu pasangan. (Hasilnya) 67% setuju, mayoritas setuju, 28% tidak setuju," ungkap Djayadi Hanan, direktur eksekutif SRMC, hari Selasa (02/01).

Dari 67% yang setuju tersebut, sebagian besar menginginkan Jokowi sebagai presiden sedangkan Prabowo sebagai wakil presiden.

Analis politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Tobias Basuki, mengatakan paket ini sebenarnya sangat menguntungkan baik bagi Prabowo maupun bagi partai yang ia pimpin, Gerindra.

"Pasangan ini hampir pasti menang di 2019 dan di 2024 terbuka lebar bagi Prabowo untuk terpilih sebagai presiden," kata Tobias melalui sambungan telepon, hari Rabu (03/01).

Prabowo temui Jokowi di Istana: 'Saya tidak akan jegal Jokowi' Elektabilitas Jokowi 'dibayangi' masalah ekonomi, kebangkitan PKI dan SARA Enam 'sengketa' B

Meski demikian, jika ingin realistis, paket Jokowi-Prabowo sebenarnya sulit diwujudkan.

"Kecil kemungkinannya. Dari sisi umur misalnya, kalau Prabowo jadi wakil presiden dulu di 2019 dan menjadi presiden pada 2024, maka umurnya sudah jauh, belum lagi masalah kesehatan," kata Tobias.

Prabowo akan berusia 68 tahun pada 2019 dan jika terpilih pada 2024, usianya menginjak 73 tahun.

Masalah kedua adalah apakah Prabowo bersedia menjadi wakil presiden pada 2019 dan yang ketiga, sebenarnya ada kendala ideologis di antara dua politikus ini.

Polarisasi Hak atas foto Getty Images Image caption Joko Widodo didukung antara lain oleh kelompok-kelompok nasionalis, kata analis politik Tobias Basuki.

Tobias menjelaskan sejak 2014 muncul polarisasi politis yang cukup kencang.

"Kelompok-kelompok yang lebih kanan, dalam konteks agama dan konservatisme, membentuk kubu di belakang Prabowo, sementara kelompok-kelompok yang lebih nasionalis terbentuk di kubu Jokowi," papar Tobias.

Masih terbuka kemungkinan dua kubu ini mencair, seperti yang terlihat di pemilu 1999, 2004, dan 2009 tapi untuk saat ini polarisasi dua kubu ini sangat terasa.

Kemungkinan kian tajamnya polarisasi ini pula yang besar kemungkinan mendorong sebagian masyarakat berharap bisa dimajukan duet Jokowi-Prabowo.

Ada kekhawatiran perbedaan pandangan politik -yang bahkan hingga masuk ke level hubungan anggota keluarga- akan makin tajam. "Dua politisi yang punya core constituent yang berbeda ini, jika berpasangan akan menyatukan bangsa," kata Tobias.

Dalam pandangan Maruarar Sirait, politikus PDI Perjuangan -partai mengusung Jokowi dan Jusuf Kalla di pilpres 2014- duet Jokowi-Prabowo adalah paket yang menarik dan 'luar biasa'.

"Ini (duet) yang efektif dan stabil, pilihan yang masuk akal dan rasional," kata Maruarar, yang menambahkan jika ini diwujudkan, hampir dapat dipastikan akan membuat suasana menjadi jauh lebih kondusif di masyarakat.

"Dua orang yang bertarung (pada 2014) akhirnya bisa bersatu (di 2019). Ini pesan yang kondusif."

Senada dengan Tobias, Maruarar melihat pasangan Jokowi-Prabowo tak mudah diwujudkan. "Masing-masing sudah memiliki basis pendukung yang die hard (sangat loyal)," kata Maruarar mengomentari temuan survei SMRC.

Pemilih 'sudah berubah'

Wakil ketua umum Gerindra, Ferry Juliantono, juga sepertinya menutup pintu bagi duet Jokowi-Prabowo di pilpres 2019.

Hak atas foto Getty Images Image caption Politikus Gerindra mengatakan perkembangan demokrasi 'akan menguntungkan' Prabowo.

Ferry mengatakan demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan, termasuk perubahan di tingkat pemilih. Ia mengatakan dasar keputusan pemilih adalah nilai, prinsip, dan platform yang diusung partai atau calon pejabat publik.

"Sebelumnya, terutama sebelum pilkada Jakarta, level demokrasinya adalah demokrasi cari uang," kata Ferry.

Perkembangan ini, katanya, sangat menguntungkan Prabowo dan Gerindra.

Apakah Golkar akan jadi penentu kemenangan Jokowi di Pemilu 2019? Tiga tahun Jokowi: Bagaimana politik, hukum dan HAM? Tanpa dihadiri SBY, pidato Jokowi akui pembangunan 'belum merata'

"Selama ini kan Prabowo dikenal sebagai figur yang memegang nilai, memegang prinsip. Misalnya soal kebocoran anggaran negara dan manajemen sumber daya alam. Juga soal keadilan sosial, soal pembelaan terhadap rakyat," kata Ferry.

Sikap Prabowo yang konsisten ini ia anggap akan menarik simpati pemilih.

"Sah-sah saja ada yang menginginkan duet Jokowi-Prabowo, kami berterima kasih ... tapi kami berpandangan, kami sangat percaya diri bahwa suasana 2019 nanti akan menguntungkan Prabowo," kata Ferry.

Wacana menduetkan Jokowi dengan Prabowo dikabarkan sudah beredar di kalangan elite sejak beberapa bulan terakhir.

Belum diketahui sikap Jokowi atau partai yang mengusungnya namun sumber-sumber yang dekat dengan Prabowo kepada BBC Indonesia mengatakan Prabowo besar kemungkinan akan menolak proposal ini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.