Enam fakta ekonomi yang menjelaskan demonstrasi di Iran

Enam fakta ekonomi yang menjelaskan demonstrasi di Iran
iran Hak atas foto EPA Image caption Sejumlah mahasiswa Universitas Teheran menghadapi gas air mata yang ditembakkan polisi dalam unjuk rasa 30 Desember 2017.

Predikat Iran cukup mentereng. Ekonomi negara tersebut merupakan yang kedua terbesar di Timur Tengah dengan cadangan gas alam terbesar kedua di dunia, dan terbesar keempat dalam cadangan minyak mentah.

Nyatanya, rangkaian demonstrasi yang meletup pekan lalu dipicu oleh kemarahan atas naiknya harga-harga, tingginya pengangguran, dan salah kelola ekonomi.

Berikut enam fakta yang membantu menjelaskannya.

Perempuan yang jadi simbol protes Iran meski tak hadir di sana Di balik gelombang protes di Iran: Pemicu ketidakpuasan terhadap pemerintahan mullah Presiden Rouhani :Rakyat Iran berhak mengkritik tetapi tidak menghancurkan

Ekonomi Iran mengalami dampak buruk akibat beragam sanksi yang diterapkan komunitas internasional selama bertahun-tahun terkait dengan program nuklir.

Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 1,4% pada 2015, ketika Presiden Hassan Rouhani yang moderat, sepakat dengan enam negara dunia untuk membatasi aktivitas nuklir Iran.

Setahun berikutnya, setelah kesepakatan diterapkan dan berbagai sanksi dicabut, ekonomi melambung secara signifikan dan PDB menyentuh 12,3%, berdasarkan data Bank sentral Iran. Sebagian besar pertumbuhan itu dipicu oleh industri minyak dan gas.

Bulan lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pertumbuhan telah menyebar ke sektor migas. IMF memprediksi PDB bisa bertambah 4,2% pada tahun fiskal 2017/2018.

Bagaimanapun, pemulihan ekonomi tidaklah sesignifikan yang diharapkan warga Iran.

Sejumlah analis menunjukkan beragam sanksi AS pada transaksi keuangan masih melekat sehingga banyak perusahaan asing enggan berbisnis dengan Iran.

Memperparah keadaan, pada Oktober 2017, Presiden AS Donald Trump menolak mendukung kesepakatan nuklir yang dibuat Barack Obama dan meminta Kongres mempertimbangkan untuk kembali menerapkan sanksi pada Iran.

Inflasi telah berfluktuasi di Iran sejak Revolusi Islam pada 1979.

Pada 2013, inflasi mencapai 31%. Hal itu terjadi seiring dengan beragam sanksi yang menyebabkan pemasukan dari sektor minyak berkurang dan pada gilirannya membuat mata uang rial terdevaluasi lebih dari 450%.

Inflasi semakin berkurang di bawah pemerintahan Rouhani. Pada 2016, menurut Bank Sentra Iran, inflasi mencapai 11%. Bank Dunia memperkirakan angkanya berada di bawah 12% selama tiga tahun mendatang.

Presiden Rouhani telah mengusulkan anggaran tahun fiskal yang dimulai Maret 2018. Pada anggaran itu, pengeluaran meningkat menjadi 6% atau US$104 miliar. Akan tetapi, penyesuaian harga pada inflasi akan berkurang.

Angka pengangguran resmi saat ini mencapai 12,4%. Namun, sebagaimana dipaparkan Menteri Dalam Negeri, Abdolreza Rahmani-Fazli, angkanya mencapai lebih dari 60% di daerah-daerah tertentu.

Kaum muda berusia di bawah 30 tahun, yang jumlahnya lebih dari setengah populasi 79,9 juta jiwa, adalah golongan paling parah terdampak.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan 26,7% dari golongan berusia 15-24 tahun menjadi penggangguran. Adapun kekurangan kerja mencapai 12,4% pada golongan usia tersebut.

IMF memperingatkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, jumlah pekerjaan yang tercipta untuk menyerap tenaga kerja tidak cukup. Sejumlah analis menduga bahwa pemulihan paling kentara terletak pada sektor minyak yang tidak memerlukan banyak tenaga kerja.

Ponsel pintar punya peranan penting dalam rangkaian demonstrasi akhir-akhir ini.

Khalayak menggunakan aplikasi Telegram, yang punya jutaan pengguna di Iran, untuk merencanakan unjuk rasa dan berbagi video serta foto. Ketika Telegram menolak membekukan saluran-saluran populer pada Minggu (31/12), pemerintah Iran memblokir aplikasi tersebut.

Peranan ponsel pintar tak pelak sangat penting karena ketika jutaan orang berdemonstrasi di Teheran pada 2009 untuk menuntut pemilihan ulang, hanya ada 2% yang diyakini punya ponsel pintar—walau saat itu terdapat 55 juta pengguna ponsel di Iran.

Kini, terdapat lebih dari 80 juta pengguna ponsel di Iran dan 41% populasi diperkirakan memiliki setidaknya satu ponsel pintar.

Investigasi terkini oleh BBC Persia menemukan bahwa secara rata-rata orang Iran lebih miskin 15% ketimbang 10 tahun sebelumnya.

Bank Dunia mengatakan kemiskinan di Iran merosot 8% dalam kurun 2009 dan 2013, meski sempat melejit ke 10,5% pada 2014—tahun pertama Rouhani menjabat presiden.

Bank Dunia memprediksi 8,2 juta orang hidup dengan US$5,50 (Rp73.800) per hari pada 2014. Lalu 2% di antara populasi atau sekitar 196.000 jiwa hidup kurang dari US$1,90 (Rp25.500) per hari.

Keluarga berpendapatan rendah di Iran yang mencapai 77 juta orang bergantung pada bantuan langsung tunai dari pemerintah senilai US$13 (Rp174.500). Dalam rencana anggaran yang disusun Rouhani, bantuan itu akan dipangkas US$5,3 miliar (Rp71 triliun) yang bakal berdampak pada 30 juta orang.

Rouhani juga berencana menaikkan harga bensin dari US$0,30 (Rp4.026) per liter menjadi US$0,45 (Rp6.037) per liter.

Konsumsi roti, susu, dan daging merah di Iran telah menurun antara 30% dan 50% selama 10 tahun terakhir, menurut data yang ditelusuri BBC Persia.

Lantaran warga Iran semakin miskin dan harga bahan pangan meningkat 40% selama setahun terakhir, banyak orang tidak mampu membeli makanan yang cukup.

Kenaikan harga telur sebanyak 50%, akibat wabah flu burung, ditengarai menjadi pemicu protes di Mashhad—kota pertama yang menggelar aksi protes.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.