Bagaimana McDonald's dan Burger King dapat untung dari makanan belasan ribu rupiah?

Bagaimana McDonald's dan Burger King dapat untung dari makanan belasan ribu rupiah?
burger Hak atas foto Getty Images

Apakah makanan cepat saji harus benar-benar teramat murah agar Anda mau membeli?

Januari lalu, berbagai produsen makanan cepat saji memberikan menu diskon di seantero gerai di Amerika Serikat. Harga makanan yang mereka tawarkan jadi jauh lebih murah, bahkan lebih murah dari harga selembar roti atau sekotak jus kemasan.

Satu bulan sebelumnya, analis keuangan dari Credit Suisse mengeluarkan laporan telah terjadinya "perang harga" antara berbagai merk makanan cepat saji asal Amerika. Misalnya McDonald's yang membuka tahun 2018 dengan menu "US$1 US$2 US$3". Satu dollar bernilai sekitar Rp13.000.

Saingan McD pun mengambil langkah serupa. Produsen burger, Wendy's, mengeluarkan 20 menu baru dengan harga masing-masing sama, yaitu hanya $1. Taco Bell pun juga mulai menjual "kentang goreng nacho" dengan harga yang sama.

Untuk kasus McD, Credit Suisse menyebut perusahaan itu mengalami penurunan penjualan sebesar 11%, antara tahun 2012 hingga 2016. Jadi, penurunan harga ini kemungkinan besar dilakukan untuk menarik kembali konsumen.

Namun, apapun alasannya, bagaimana perusahaan-perusahaan ini bisa mendapat untuk dengan menjual makanan seharga hanya US$1 atau sekitar Rp13.000? Apalagi seorang pekerja di rumah makan cepat saji itu digaji US$10 atau sekitar Rp130.000 per jam?

Hak atas foto Getty Images Image caption Konsumen di berbagai negara barat, biasanya sangat terbuai jika makanan cepat saji dijual dengan harga diskon.

Jawabannya adalah jumlah. Untung tetap bisa didapatkan, jika burger, ayam atau kentang goreng dengan harga murah itu dijual dalam jumlah sangat banyak.

Dengan sangat sedikit produsen makanan cepat saji yang memiliki konsumen besar, mereka tidak begitu sulit untuk mendiferensiasi produknya dengan competitor. Misalnya, dengan menambah bonus mainan anak-anak dalam paket menu.

Dan pada akhirnya, produsen tersebut berlomba-lomba untuk memberi diskon, menjual makanan dengan harga termurah, kata Patricia Smith, profesor terkait aktivitas ekonomi makanan cepat saji, dari Universitas Michigan.

Kunci dari strategi ini adalah berharap konsumen akan membeli sebanyak mungkin makanan yang didiskon.

Selain itu Smith menyebut penjualan produk-produk pendamping lainnya juga penting. "Salah satu bagian dari strategi ini adalah mendorong konsumen untuk tidak hanya membeli burger atau ayam, tetapi juga kentang goreng, minuman dan makanan penutup."

Meskipun begitu, pemotongan harga bisa merugikan jika harga jualnya lebih rendah dari biaya produksi. Sejumlah pemilik jaringan Burger King menuntut perusahaan tersebut pada 2009, karena memaksa mereka menjual sebuah double cheeseburger seharga US$1, padahal biaya pembuatannya mencapai US$1,10.

Image caption Makanan cepat saji dengan harga miring satu dollar atau belasan ribu rupiah adalah hal yang tidak aneh di Amerika Serikat.

Apakah langkah baru yang diambil McD, Wendy's dan Taco Bell belakangan ini akan sukses atau tidak, akan bergantung pada banyak faktor. Salah satunya perubahan derap industri makanan cepat saji.

Berubahnya pola makan siang kaum Milenial

Menurunnya jumlah konsumen makanan cepat saji adalah salah satu indikator bahwa selera makan kita sudah berubah. Orang-orang berusia di bawah 40 tahun, atau kaum Milenial dan generasi setelahnya, Generasi Z, ternyata lebih memilih makanan yang lebih organik dan 'sehat'.

Berdasarkan riset Nielsen 2015 silam, sebanyak 41% Generasi Z dan 32% Milenial memilih "membayar dengan harga yang lebih mahal, untuk makanan yang lebih organik".

Sementara hanya 21% generasi Baby Boomers (generasi sebelum Milenial), yang mau mengeluarkan uang lebih untuk makanan yang lebih sehat.

Image caption Kompetisi harga murah terjadi di berbagai gerai makanan cepat saji.

"Gerai makanan cepat saji terkesan tua bagi kaum Milenial, apalagi jika dibandingkan gerai-gerai makanan yang menjual salad," kata Marion Nestle, profesor nutrisi dai Universitas New York.

Karena itulah perusahaan seperti McDonald's bekerja sama dengan Uber untuk mengantarkan berbagai produk mereka di Amerika, Inggris dan Australia.

Apalagi zaman sekarang kepala-kepala kantor kerap meminta stafnya untuk menghabiskan waktu dan bekerja di kafe-kafe. Jelas, kafe yang nyaman dengan sofa empuk lah yang dipilih, bukan gerai makanan cepat saji.

Bisa murah sampai berapa lama?

Nestle yang mengajar di NYU menyebut perputaran ekonomi restoran cepat saji sangat bergantung pada volume penjualan. "Semakin banyak konsumen yang berbelanja, semakin bagus," ungkapnya.

Mereka pun saling berebut konsumen. Jika Burger King menurunkan harganya, Wendy's akan berupaya melakukan hal yang sama pula.

"Mereka semua tertarik soal isu penurunan harga ini," kata Patricia Smith. Tak jarang perusahaan mengubah harga untuk mengecek pasar.

"Mereka ingin tahu, kalau harga dinaikkan apakah pelanggan akan lari? Ataukah saya harus menurunkan harga dan meraih lebih sedikit untung, tetapi volume penjualan lebih banyak?"

Hak atas foto Getty Images Image caption Perusahaan bisa tetap untuk menjual makanan dengan harga murah, jika volume penjualannya tinggi.

Metode meraih untung dengan cara ini kerap disebut metode "permintaan elastis". "Sebuah perusahaan bisa menaikkan pendapatan dengan menurunkan harga, jika permintaan terhadap produk, elastis, atau sensitif terhadap harga.

Misalnya, jika sebuah perusahaan menurunkan harga 5% dan kuantitas penjualan naik 10%, maka permintaan memenuhi syarat elastis dan total pendapatan akan meningkat."

Metode seperti ini biasanya hanya terjadi pada pasar yang didominasi sedikit produsen utama. Di Amerika, menurut Smith, 40% pasar telah dikuasai beberapa waralaba saja. "Jadi, tidak mengejutkan ketika mereka menurunkan harga".

Masa depan makanan cepat saji

Kepada BBC Capital, McDonald's, Wendy's dan Taco Bell mengaku mereka memperkenalkan menu baru dengan harga murah tersebut, untuk memenuhi permintaan konsumen.

"Kami dengar dari konsumen kalau kebanyakan mereka biasanya menghabisan US$5 atau sekitar Rp70 ribu untuk makan siang. Alhasil, paket makanan seharga US$4 jadi sangat menarik," kata seorang juru bicara Wendy.

Seluk-beluk Kebab, jajanan paling populer di Jerman ‘Makan Mayit’: Wajarkah berfantasi menyantap jabang bayi? Haruskah kita menyantap serangga seperti Jolie?

"Saya rasa mereka ingin mempertahankan konsumen setia mereka," kata Smith, yang mengajar di Universitas Michigan. "Daripada mencari konsumen baru yang lebih muda, yang cenderung lebih tertarik memakan makanan sehat".

Tidak diketahui pasti apa yang akan terjadi jika harga makanan cepat saji terus dan terus mengalami penurunan.

Hak atas foto Getty Images Image caption Bisa saja di masa depan, para penjual makanan organik juga menjual produk mereka dengan harga miring karena kompetisi.

Pakar kesehatan tentu saja khawatir. Nestle mengungkapkan orang-orang yang sering memakan makanan cepat saji, tentunya akan semakin ketagihan memakan makanan ini dalam jumlah lebih banyak, ketika tahu harganya didiskon. Ini akan menjadi penyulut baru masalah obesitas.

Tapi, siapa yang tahu? Jika Generasi Z dan Milenial terus memperlihatkan tren mencintai makanan sehat, mungkin saja produsen makanan sehat tersebut akan ikut mengambil langkah McDonald's, menjual makan dengan harga lebih murah supaya lebih bersaing.

Anda bisa membaca versi asli artikel ini dengan judul How can a fast food chain ever make money from a $1 burger? di BBC Capital.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.