Usul MUI terkait penganut kepercayaan: Patutkah ada dua jenis KTP?

Usul MUI terkait penganut kepercayaan: Patutkah ada dua jenis KTP?
Salah satu penghayat kepercayaan, masyarakat Bonokeling di Banyumas, Jawa Tengah Hak atas foto ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES Image caption Salah satu penghayat kepercayaan, masyarakat Bonokeling di Banyumas, Jawa Tengah.

Usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar dibuat KTP khusus bagi para pemeluk kepercayaan dinilai diskriminatif, dan di sisi lain menimbulkan pertanyaan: patutkah ada dua jenis KTP dalam suatu sistem kependudukan?

Ketua Bidang Hukum MUI, Basri Barmanda, mengatakan pihaknya mengusulkan kepada pemerintah agar kepada penghayat kepercayaan diberikan KTP elektronik yang mencantumkan kolom 'Kepercayaan' tanpa ada kolom 'Agama'.

Usulan ini terkait sikap mereka yang menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan aliran kepercayaan bisa masuk kolom agama di KTP elektronik.

"Adapun untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai KTP elektronik, hendaknya tidak dilakukan perubahan atau penggantian KTP elektronik sama sekali," kata Basri, di Jakarta, hari Rabu (17/01).

Saran MUI itu dianggap diskriminatif oleh penghayat kepercayaan dan kalangan pembela hak asasi.

"Kalau pun MUI mengusulkan seperti itu, lagi-lagi itu bertentangan dengan konstitusi dan melahirkan diskriminasi baru," kata Rukka Sombolinggi, yang menganut agama leluhur yang disebut Aluk di Toraja.

"Dan kita sudah tahu selama ini, yang tidak mendapat KTP itu sendiri sudah diskriminasi dan kalau kemudian mendapatkan KTP dengan bentuk baru atau dikhususkan, itu bukan dikhususkan tapi melanjutkan diskriminasi terhadap mereka."

Hak atas foto KOMPAS.COM/ ANDREAS LUKAS ALTOBELI Image caption MUI mengusulkan agar para pemeluk kepercayaan mendapatkan KTP khusus.

Diskriminasi yang dimaksud Rukka adalah sekitar dua juta masyarakat adat belum memiliki KTP dan tidak punya akses terhadap layanan sosial karena tidak memeluk agama besar yang diakui negara.

"Mereka bisa diakui pernikahannya, anak-anaknya bisa punya akte, supaya bisa sekolah, bisa kerja", Rukka Sombolinggi menjelaskan layanan sosial yang bisa dinikmati para penghayat kepercayaan dengan adanya putusan MK.

MUI menyangkal bahwa usulan mereka itu diskriminatif. "Tidak. Justru aspiratif namanya," kata Basri Barmanda.

Basri menyatakan tidak setuju jika kolom agama diisi dengan kepercayaan, karena menurutnya agama berbeda dengan kepercayaan.

"Kalau agama itu ada syaratnya, ada rasulnya, ada kitabnya, ada ajarannya, ada sistemnya. Yang di Indonesia ini baru enam yang diakui. Agama dan kepercayaan itu beda sekali karena aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, itu kan dulu ya," papar Basri Barmanda.

Betapapun, Kementerian Dalam Negeri mengaku menghargai dan menampung saran MUI itu dan dijadikan salah satu opsi dalam menerapkan putusan MK.

"Itu sudah masuk ke dalam salah satu alternatif yang sedang kita bahas, kita kaji menunggu rapat menteri," kata Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakhrulloh.

"Kita siapkan beberapa alternatif sudah kita laporkan ke Menkopulhukam menunggu keputusan dilaporkan ke presiden," tandasnya lagi.

Pada November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan aliran kepercayaan masuk kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga.

Hal ini, menurut pakar HAM dan para penganut kepercayaan menjadi angin segar yang membuat mereka tidak perlu lagi mengalami diskriminasi sosial khususnya dalam pelayanan publik.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.