Empat provinsi darurat kebakaran hutan di tengah ancaman Presiden Jokowi

Empat provinsi darurat kebakaran hutan di tengah ancaman Presiden Jokowi
kebakaran Hak atas foto Wahyudi/AFP/Getty Images Image caption Api melalap di sebuah lahan gambut di Pekanbaru, Provinsi Riau, 1 Februari lalu. Provinsi Riau adalah satu di antara empat provinsi yang memberlakukan siaga darurat kebakaran hutan dan lahan.

Sebanyak empat provinsi menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan di tengah ancaman Presiden Joko Widodo untuk mencopot jajaran TNI dan kepolisian yang tidak bisa mengatasi peristiwa tersebut.

Provinsi yang memberlakukan siaga kebakaran hutan meliputi Sumatera Selatan (1 Februari hingga 30 Oktober), Riau (19 Februari hingga 31 Mei), Kalimantan Barat (1 Januari hingga 31 Desember), dan Kalimantan Tengah (20 Februari hingga 21 Mei).

Ancaman Jokowi mencopot jajaran TNI dan polisi: efektifkah mengatasi kebakaran hutan? Malaysia 'bebas kabut asap dari kebakaran hutan' di Indonesia: Faktor hujan atau keseriusan pemerintah? Ilmuwan Indonesia dan Jerman ciptakan terobosan pemetaan gambut

Menurut Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemberlakuan siaga darurat akan memudahkan akses penanganan kebakaran hutan dan lahan baik dari pengerahan personel, komando, logistik, anggaran, hingga dukungan dari pemerintah pusat.

"Jalur komando penanganan lebih mudah koordinasinya," ujarnya.

Hak atas foto Wahyudi/AFP/Getty Images Image caption Dua petugas pemadam kebakaran berupaya memadamkan api di sebuah lahan gambut di Pekanbaru, Riau, 1 Februari lalu.

Penetapan status siaga darurat, menurut Sutopo, didasari pertimbangan telah ditetapkannya beberapa kabupaten/kota di wilayahnya yang menetapkan siaga darurat karhutla, adanya peningkatan jumlah titik panas (hotspot), masukan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), serta pengalaman pengananan kebakaran hutan sebelumnya.

Cuaca kering yang menerpa empat provinsi tersebut juga berpengaruh.

"Daerah- daerah yang berada di sekitar garis khatulistiwa saat ini memasuki musim kemarau periode pertama seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang memiliki pola hujan ekuatorial."

"Antara pertengahan Januari hingga Maret kemarau pertama, kemudian Maret-Mei masuk musim penghujan, dan selanjutnya Juni-September kemarau kedua yang lebih kering. Karhutla umumnya meningkat pada periode kedua musim kemarau ini," papar Sutopo.

Berdasarkan pantauan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), jumlah titik panas terus meningkat, seperti di Kalimantan Barat. Bahkan Kota Pontianak terselimuti asap kebakaran hutan.

Pada Rabu (21/2), ada 12 titik panas kategori tinggi yang tersebar di Kalimantan Barat (lima titik), Kepulauan Riau (2), Kalimantan Tengah (3), Kepulauan Bangka dan Belitung (1), dan Riau (1).

'Tembak di tempat' bagi warga pembakar lahan di Jambi Emisi karbon gambut Indonesia yang rusak setara membakar 4.500-7.800 galon bensin Kebakaran hutan-lahan di Aceh membesar, kabut asap ganggu pernafasan penduduk Hak atas foto AFP/Getty Images Image caption Penebangan pohon di lahan gambut dilakukan di wilayah Kerumutan, Provinsi Riau, beberapa tahun silam. Kebakaran di lahan gambut suilit dipadamkan.

Sementara itu, pemadaman masih berlangsung pada beberapa wilayah seperti di Provinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Raffles B. Panjaitan, mengatakan upaya pemadaman sulit dilakukan karena jauhnya lokasi kebakaran dan kurangnya sumber air di lapangan.

Pada pemadaman di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau (17/02) misalnya, lokasi kebakaran yang jauh, mengharuskan tim Manggala Agni menggunakan perahu motor selama berjam-jam dan menginap di lapangan.

"Dengan tidak tersedianya pasokan air bersih, mengharuskan mereka menggunakan air gambut untuk kebutuhan di sana. Untuk menuju titik lokasi kebakaran, mereka harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1,5 km dari tempat mereka menginap," jelas Raffles sebagaimana dilansir Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hak atas foto AFP/Getty Images Image caption Presiden Joko Widodo berjalan menyusuri lahan yang dilalap api di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, September 2015 lalu. Sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29% pada 2030.

Pada 6 Februari lalu, Presiden Joko Widodo mengancam akan mencopot jajaran TNI dan kepolisian yang tidak bisa menangani kebakaran hutan dan lahan.

Presiden pertama kali mengeluarkan ancaman seperti itu pada 2016 lalu dan kini mengeluarkan ancaman serupa menjelang perhelatan Asian Games bulan Agustus, bertepatan dengan puncak musim kemarau di Indonesia.

"Jadi saya ulang lagi aturan mainnya. Kalau di wilayah saudara ada kebakaran dan tidak tertantangani dengan baik, aturannya masih sama: dicopot," tegas Presiden Jokowi.

Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo mengungkapkan bahwa gertakan presiden ini cukup terbukti efektif menurunkan kebakaran hutan selama beberapa tahun terakhir -meski hingga kini belum terbukti ada jajaran TNI dan polri yang dicopot.

Pada tahun 2015, ketika terjadi bencana kebakaran hutan besar-besaran, terdapat 21.929 hotspot di Indonesia.

Namun pada 2016, angka itu menurun drastis menjadi 3.915 hotspot. Sementara pada tahun lalu, terdapat 2.567 hotspot.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.