Melihat sejarah Indonesia lewat foto-foto lama di media sosial

Melihat sejarah Indonesia lewat foto-foto lama di media sosial
Salah satu foto yang diunggah di akun @Potretlawas yang memperlihatkan tukang becak di Jawa pada tahun 1950. Hak atas foto Spaarnestad-gahetNA/Twitter/@Potretlawas Image caption Salah satu foto yang diunggah di akun @Potretlawas yang memperlihatkan tukang becak di Jawa pada tahun 1950.

Merasa kesal dengan tersebarnya hoaks yang menggunakan foto-foto sejarah, sekelompok anak muda memutuskan untuk bertindak.

Mereka membentuk @Potretlawas, akun twitter yang berisi foto-foto sejarah dengan keterangan lengkap mengenai foto tersebut.

Akun Twitter @Potretlawas digawangi lima orang anak muda Indonesia berumur antara 21-32 tahun.

Empat di antaranya masih kuliah di Yogyakarta, Amsterdam dan Kuala Lumpur.

Dibentuk sejak Februari 2017, hingga kini jumlah follower mereka di Twitter mencapai 42,2 ribu.

"Kami merasa kesal dan marah dengan tersebarnya foto-foto yang diberi narasi fiktif yang terlalu melenceng. Karena itu kami pun berusaha menyediakan tempat di mana foto sejarah punya narasi yang lebih jelas dan bisa dipertanggung jawabkan," kata salah satu anggota Potretlawas yang ingin disebut dengan nama akunnya saja, saat berbicara dengan BBC Indonesia, Selasa (20/02).

Dia mencontohkan beredarnya foto yang diberitakan sebagai Cut Nyak Dien, padahal foto tersebut bukan potret sang pahlawan Aceh.

Melihat Jakarta pada 1941 yang 'dihidupkan' lagi lewat video pria Belanda Bule Belanda rekam Tanah Abang, dulu dan sekarang

Ada juga foto yang disebut sebagai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, padahal foto tersebut berasal dari periode jauh sebelumnya.

"Selama kita tidak melakukan apa-apa, kejadian ini akan terulang terus. Maka kami membuat akun ini demi mengajak orang untuk bisa melihat foto dengan lebih jernih," kata dia.

Potretlawas kemudian berusaha memberi klarifikasi jika mereka menemukan foto zaman dulu yang disebarkan dengan keterangan yang jauh berbeda dari sejarah aslinya.

Menurutnya, banyak foto hoaks ini dipakai untuk kepentingan politik.

"Orang yang menyebarkan kami beri tahu. Kadang mereka merespon, kadang kami tak diacuhkan," kata dia.

Bahkan beberapa kali potret dari @potretlawas sendiri pun disebarkan dengan cerita yang sama sekali fiktif. Karena itulah mereka selalu memberikan penanda berupa watermark di setiap foto yang diunggah.

"Setidaknya jika foto-foto ini digunakan untuk hoaks, orang yang melihat akun kami di watermark akan tahu ke mana harus mengkonfirmasi."

Orang-orang Maluku Kristen yang 'menyelamatkan diri' ke Kramat, 72 tahun kemudian Kisah empat perempuan Belanda yang memilih membela Indonesia

Banyak dari foto-foto yang diunggah oleh akun Potretlawas yang belum pernah dilihat oleh publik.

Rahasianya, adalah rajin mengulik arsip foto di lembaga arsip dan perpustakaan. Hampir 90% foto di Potretlawas berasal dari arsip Belanda. Sisanya dari perpustakaan di Australia dan Amerika.

Hanya sedikit yang berasal dari Indonesia.

"Secara arsip, koleksi Indonesia masih terbatas. Foto-foto dari Perpustakaan Nasional biasanya ukurannya kecil jadi kurang bisa dieksplorasi," kata dia.

Ukuran foto berpengaruh dalam melihat detil-detil yang mungkin terlewatkan.

Misalnya, ada foto Jakarta tahun 1950-an yang menggambarkan orang menyeberang jalan. Setelah dilihat secara lebih teliti di latar belakang ada plang nama jalan yang kini sudah tidak ada.

Alex dan Frans Mendur: foto-foto Proklamasi yang 'masih tercecer' Sultan Hamid II, perancang lambang Garuda Pancasila

Plang nama jalan tersebut jika digali lagi bisa memunculkan cerita tentang Jakarta yang tidak banyak diketahui orang.

"Dari hal kecil berupa selembar foto, bisa muncul banyak perspektif. Untuk memahaminya, harus dilihat konteks sejarah saat foto itu diambil," kata dia.

Salah satu foto yang paling populer adalah foto tukang becak di Jawa pada tahun 1950 yang di-retweet hingga lebih dari seribu kali.

Salah satu potret di rangkaian tersebut menunjukkan dokumentasi bahwa becak sudah ada di Medan sejak 1905.

Potretlawas juga banyak mengunggah seri foto mengenai kota-kota kecil di Indonesia.

"Kami ingin menggeser pandangan bahwa foto lama hanya berasal dari daerah yang besar. Banyak juga cerita menarik dari tempat-tempat yang tak terduga," kata dia.

Cornelis Chastelein, ' Belanda Depok' dan daerah otonom zaman kolonial Pantaskah Rumah Cimanggis dibongkar karena 'peninggalan gubernur jenderal VOC yang korup'?

Seri foto Alor mengungkapkan penyelaman mutiara di laut dalam pada 1898. Seri foto Flores menggambarkan kekayaan Raja Sikka Moang Ratu Thomas da Silva, dan penjajahan Belanda saat warga desa diminta membayar pajak pada pejabat kontrolir.

Pada akhirnya, bagi Potretlawas, yang lebih penting adalah cerita di balik sebuah foto.

"Kami sendiri paling suka dengan kisah di balik potret Frans Kaisiepo ini karena ternyata putra beliau sendiri pun belum pernah melihat foto tersebut," kata dia.

Saat ini mereka hanya aktif di Twitter, karena Twitter dirasa sebagai medium yang paling cocok untuk berkomunikasi dan berbincang dengan para follower.

"Kami sangat gembira ketika beberapa unggahan menjadi pemantik diskusi lanjutan, memicu orang untuk melihat kembali sejarah, membaca ulang dan bahkan menafsirkan ulang pandangannya," kata dia.

Potretlawas pun banyak mendapat tanggapan berupa foto maupun komentar dari warganet. Mereka juga tak segan berkolaborasi dengan akun lain yang juga punya minat yang sama.

Salah satunya adalah akun @Tukangpulas yang mewarnai foto-foto sejarah yang sebagian besar masih hitam putih.

Tukangpulas, adalah akun yang mewarnai foto-foto bersejarah, terutama sejarah Indonesia.

"Saya terutama tertarik mewarnai foto-foto Indonesia zaman perjuangan, dengan tujuan agar orang Indonesia bisa lebih mengenali sejarahnya sendiri," kata Bripka Heru Iswanto, sosok di balik akun Tukangpulas yang sehari-hari bekerja di Polda Metro Jaya.

Periode favoritnya untuk diwarnai adalah masa-masa pra-kemerdekaan hingga tahun 1950-an.

Dia juga banyak mewarnai foto-foto tentara Belanda di berbagai tempat di Indonesia.

"Dengan diberi warna, nampak lebih jelas bahwa orang-orang Belanda itu pernah ada di berbagai tempat di Indonesia. Ini yang jarang kita lihat," kata Heru kepada BBC Indonesia, Rabu (21/02).

Untuk mengetahui warna apa yang harus dia pakai saat mewarnai subjeknya, Heru banyak melakukan riset dan berdiskusi dengan para peminat sejarah.

"Misalnya seragam tentara, saya harus riset untuk tahu detail warna seragamnya, baret, dan emblemnya, karena warna seragam tentara bisa berbeda-beda tergantung pada kesatuan, pangkat, asal maupun periode waktunya," kata pria 37 tahun ini.

Untuk hal-hal lain yang tidak ada standarnya, misalnya warna baju warga biasa, Heru banyak mendapatkan referensi dari film-film lama.

"Saya banyak melihat film-film lama untuk referensi, nuansa warna seperti apa yang ada di suatu periode waktu," kata dia.

Selebihnya, Heru memilih warna berdasarkan pilihan estetiknya sendiri.

Heru juga banyak mewarnai foto-foto tokoh, seperti Mohammad Hatta, Abdul Haris Nasution bersama Ade Irma Suryani, KH Wahid Hasyim saat muda, maupun Miss Roekiah, bintang film yang melejit tahun 1938.

"Saya memilih foto-foto yang kualitasnya bagus dan punya cerita yang unik di baliknya," kata dia.

Sumber foto-foto hitam putih yang dia warnai berasal dari lembaga arsip, maupun mewarnai foto yang sudah beredar di internet, misalnya foto unggahan @potretlawas.

Dari akun ini pula kita bisa melihat foto wajah Margonda, pejuang kemerdekaan yang namanya dijadikan nama jalan di Depok.

Untuk mewarnai foto, Heru butuh waktu 30 menit hingga dua jam.

"Dulu saya bisa mewarnai satu foto dalam 30 menit, tapi sekarang paling tidak butuh satu sampai dua jam karena saya semakin memperhatikan detil," kata dia.

Warganet pun memuji kedua akun ini sebagai akun yang bermanfaat dan berpengetahuan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.