Para Kapolda dihimbau tingkatkan pengamanan tokoh agama dan tempat ibadah, namun tak cukup atasi meningkatnya tensi SARA selama tahun politik

Para Kapolda dihimbau tingkatkan pengamanan tokoh agama dan tempat ibadah, namun tak cukup atasi meningkatnya tensi SARA selama tahun politik
persekusi Hak atas foto SONNY TUMBELAKA/AFP/Getty Images Image caption Kontras mencatat terjadi 75 peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan sepanjang tahun 2017 dan berpotensi meningkat pada tahun ini.

Para kepala kepolisian daerah dihimbau untuk meningkatkan pengamanan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah. Namun, hal itu dinilai tak cukup untuk mengatasi potensi SARA yang digunakan untuk tujuan politis.

Hal ini merupakan buntut dari rentetan insiden yang menyerang tokoh agama dan tempat ibadah di beberapa wilayah, seperti di Jawa Barat, Yogyakarta dan yang baru-baru ini terjadi di Jawa Timur.

Untuk membahas itu, digelar video conference (vicon) yang dipimpin oleh Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Syafruddin. Rapat tersebut melibatkan Kapolda dan pejabat utama Polda se-Indonesia melalui video conference. Rapat juga dihadiri pejabat utama di lingkungan Mabes Polri.

"Wakapolri menegaskan dan mengingatkan kepada para kapolda terkait pengamanan tempat-tempat ibadah dan tokoh-tokoh agama," ujar Kepala Divisi Humas Setyo Wasisto usai video conference di Jakarta, Senin (19/02).

Serangan di gereja Yogyakarta: Apakah beribadah semakin tidak aman? Serangan terhadap pemuka agama: teror, intoleran atau aksi kriminal? Aksi sosial gereja dituding upaya kristenisasi, bupati Bantul 'akan cegah' intoleransi

Namun, menurut Koordinatos Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani, hal itu tidak cukup.

Dia memandang peristiwa-peristiwa penyerangan, kekerasan, intimidasi dan persekusi serupa akan terus terjadi sepanjang tahun ini, terlebih tahun 2018 merupakan tahun politik dimana sebanyak 171 Propinsi dan Kabupaten dan Kota di Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada secara serentak.

"Dalam konteks tersebut, sangat mungkin isu-isu SARA digunakan untuk tujuan dan kepentingan politik pragmatis," kata Yati.

"Dengan begitu banyak rangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, pihak kepolisian tidak bisa lagi hanya memberikan himbauan kepada jajarannya, tapi memang harus ada suatu strategi, perencanaan yang sistematis dan komprehensif bagaimana menangani potensi penggunaan isu SARA di momentum politik tahun ini dan tahun depan," ujarnya kemudian.

Setidaknya lima insiden kasus penyerangan terhadap pemuka agama terjadi sejak awal tahun. Termutakhir, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem, di Paciran, Lamongan, Jawa Timur diserang oleh orang tidak dikenal pada Minggu (18/02).

Hak atas foto Eko Sudjarwo/Detikcom Image caption Pelaku penyerangan pengasuh Pondok Pesantren Karangasem diamankan di Mapolres LamonganLaporan pengamanan rutin dan khusus

Dalam rapat yang digelar mulai sekitar pukul 09:00 WIB, Wakapolri Kombes Syafruddin meminta laporan operasional rutin dan khusus untuk pengamanan tempat ibadah dan tokoh agama, terutama para ulama dan ustaz.

Pembahasan dikhususkan untuk beberapa daerah yang akhir-akhir ini sering terjadi penyerangan tempat ibadah dan tokoh agama.

"Ini difokuskan pada Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta yang akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penyerangan tempat dan tokoh agama," ujar Syafruddin.

Dia lalu memberi kesempatan kepada Kapolda Jawa Barat Irjen Agung Budi Maryoto, Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin, dan Kapolda DIY Brigjen Ahmad Dofiri untuk menjelaskan pemecahan masalah atas insiden serangan tempat ibadah dan tokoh agama yang terjadi di ketiga wilayah itu, dan mengingatkan mereka untuk meningkatkan pengamanan.

Usai rapat, Kadiv Humas Polri Setyo Wasisto menuturkan, peningkatan pengamanan ini penting lantaran beberapa waktu lalu terjadi beberapa kejadian "penganiayaan" kepada tokoh agama, tapi berkembang adanya isu-isu yang tidak benar.

"Terjadi kejadian tapi diisukan tidak sesuai faktanya."

Hak atas foto Kompascom Image caption Kadiv Humas Polri Setyo Wasisto menuturkan, peningkatan pengamanan ini penting lantaran beberapa waktu lalu terjadi beberapa kejadian "penganiayaan" kepada tokoh agama.

"Oleh sebab itu, diingatkan oleh bapak Wakapolri tadi, kepada seluruh Kapolda untuk mengingatkan kepada seluruh Kapolres untuk meningkatkan pengamanan terhadap tokoh-tokoh agama dan tempat ibadah," jelas Setyo.

Seperti diketahui, aksi penyerangan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah terjadi sejak akhir Januari lalu.

Termutakhir, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem, di Paciran, Lamongan, KH Hakam Mubarok juga mendapat tindakan serupa pada Minggu (18/02). Dia diserang oleh orang asing di komplek pesantren.

Belum diketahui identitas pelaku penyerangan itu. Namun, berdasarkan ciri-ciri fisik (tampilan) pelaku, yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa.

Sebelumnya, juga terjadi penganiayaan terhadap pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah, KH Umar Basri, di Cicalengka, Kabupaten Bandung, penganiayaan hingga meninggal terhadap petinggi Persatuan Islam (Persis) Kota Bandung, Ustaz Prawoto.

Hak atas foto DETIKCOM Image caption Kepolisian mempublikasikan foto terduga penyerang KH Umar Bisri, pimpinan Ponpes Al Hidayah Bandung.

Kasus lain adalah persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim di Tangerang, Banten, yang dituduh menjadikan rumah sebagai tempat ibadah.

Selain itu, juga terjadi penyerangan di Gereja St Lidwina di Sleman, Yogyakarta, lima orang mengalami luka-luka, termasuk Pastor Karl-Edmund Prier SK (Romo Prier) yang tengah memimpin ibadah, dan seorang anggota kepolisian yang berusaha menghentikan perbuatan pelaku.

Kepala humas Polda DIY Yogyakarta, AKBP Yulianto menjelaskan, pasca-serangan, Polda DIY meningkatkan pengamanan dengan mengerahkan aparatnya ketika kegiatan keagamaan digelar.

"Kapolda juga sudah menyampaikan untuk melakukan pengamanan di kegiatan-kegiatan keagamaan, polisi hadir di situ mengamankan. Disamping juga ada pengamanan internal, katakan lah dari pihak gereja," kata Yulianto.

Hak atas foto KOKO/EPA Image caption Selain membacok pastor, penyerang Gereja St Lidwina juga merusak patung dan simbol keagamaan.

Secara umum, lanjut dia, pengamanan untuk perayaan keagamaan yang memang berpotensi dihadiri banyak orang dan memiliki potensi gangguan ketertiban dan keamanan, maka polisi akan hadir di tengah masyarakat.

"Semuanya sesuai dengan proporsi, melihat dari potensi ancaman."

"Jumlah personel yang dikerahkan, antar yang biasa, tidak ada potensi ancaman, dengan yang berpotensi ada ancaman maka tentu kekuatannya berbeda," ujarnya.

75 kasus sepanjang 2017

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, telah terjadi 75 peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan sepanjang tahun 2017.

Adapun Propinsi dominan terjadinya persekusi atas nama agama dan keyakinan terjadi di Jawa Barat dengan 17peristiwa, Jawa Tengah (13 peristiwa), Jawa Timur (7 peristiwa) dan Banten (7 peristiwa).

Menurut Koordinator Kontras, Yati Andriyani, kasus-kasus tersebut muncul sebagai ekses dari penyelenggaran Pemilu Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta di tahun yang sama.

"Pengungkapan kekerasan terhadap tokoh agama, sebaiknya tidak hanya dilihat secara terpisah kasus per kasus," ujar Yati.

Hak atas foto ADEK BERRY/AFP/Getty Images Image caption Kasus-kasus penyerangan kepada tokoh agama muncul sebagai ekses dari penyelenggaran Pilkada DKI Jakarta yang dihiasi demonstrasi besar-besaran atas kasus penistaan agama.

Dimensi politik menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, lanjut dia, harus menjadi pertimbangan dalam mengungkap kasus ini, untuk mencegah para pihak manapun menggunakan atau mengambil keuntungan politik dalam Pilkada dan Pemilu dengan menggunakan isu SARA dan memancing perpecahan di masyarakat.

"Sehingga menurut saya juga penting untuk sekali lagi memastikan apakah ada rangkaian keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lain," ujarnya.

Antar lain dengan menelisik pola keterkaitan para pelaku penyerangan. Dalam penyerangan kepada ulama, baik di Jawa Barat dan Jawa Timur, misalnya, para pelaku ditengarai mengalami gangguan kejiwaan.

"Sejauh mana sebetulnya sudah diuji secara sungguh-sungguh pelaku memang mengalami gangguan kejiwaan,"

"Mengapa juga terjadinya sangat berdekatan anatara peristiwa satu dengan yang lain, dan ini juga tidak hanya menyasar pada satu kelompok agama tertentu, tapi ini hampir semua kelompok agama menjadi target serangan."

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.